Selasa, 22 Mei 2012

KEKERASAN GENK MOTOR (KEMBALI) TERJADI.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, kita disuguhi sebuah fenomena kekerasan yang dilakukan komunitas yang bermula dari hobi, namun aktivitasnya berujung keonaran hingga kriminal. Di sejumlah kota, kelompok yang familiar disebut geng motor kembali berulah.
Kelompok ini terlibat dalam sejumlah aksi kekerasan, bahkan sampai menelan korban jiwa. Kekerasan itu tak hanya melibatkan atau membenturkan sesama geng motor, tapi juga telah meresahkan warga masyarakat.
Kebrutalan geng motor terjadi pada Jumat (6/4) dinihari saat sekelompok orang bermotor mengeroyok seorang warga di Pondok Indah, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Korban bernama Rahmad Gunawan tewas dalam pengeroyokan. Polisi mengatakan kejadian itu dilatari balas dendam.

Pada Ahad (8/4) dinihari, empat warga juga dikeroyok sekitar 30 pemuda berambut cepak di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakpus. Kelompok yang menumpang 15 motor lebih itu juga melakukan aksi pembakaran motor.

Sehari sebelumnya, empat remaja, satu di antaranya tewas dengan kondisi mata tertusuk di SPBU Shell, Jalan Danau Sunter, Jakarta Utara. Mereka dikeroyok lebih dari 15 orang pemuda yang ditengarai polisi merupakan anggota geng motor.

Aksi kekerasan geng motor tidak saja terjadi di Jakarta, tetapi juga di daerah lain seperti Makassar, Bandung, Yogyakarta, Bali, dan Pekanbaru.

Aksi kekerasan yang melibatkan geng motor tentu saja tak bisa dipukul rata, karena tidak semua geng motor terlibat aksi kekerasan yang meresahkan warga. Geng-geng motor resmi sebagian besar dikenal cukup proaktif dalam membantu kegiatan kemasyarakatan, pemerintah dan bahkan aparat kepolisian.

Namun demikian, pembiaran terhadap aksi kekerasan yang dilakukan geng motor liar tentu bisa merusak citra geng motor resmi, termasuk pengguna motor gede (moge). Tak hanya itu, aksi kekerasan yang terus terjadi di beberapa tempat tentu juga bisa merusak citra kelompok-kelompok informal anak muda yang tujuan awalnya sangat baik.

Fenomena Kekerasan

Aksi-aksi kekerasan yang melibatkan geng motor bak melengkapi fenomena kekerasan yang terjadi di tengah masyarakat kita. Seakan tiada hari tanpa kekerasan dan anarki. Aksi-aksi kekerasan yang setiap kali muncul tersebut melibatkan kelompok atau individu dengan berbagai alasan, mulai ideologi, politik sampai masalah-masalah yang sangat sepele.

Kekerasan atas nama agama, suku, ras dan keyakinan tertentu sering dianggap kekerasan bernuansa ideologis. Orang tidak ragu-ragu lagi melakukan aksi kekerasan karena alasan ideologis. Orang-orang semacam itu rela bunuh diri untuk suatu ideologi tertentu, seperti tercermin aksi-aksi kekerasan yang dilakukan teroris.

Namun harus juga disadari bahwa ideologi sering juga dijadikan oleh seseorang atau kelompok tertentu sebagai alat untuk menekan (dengan tindakan kekerasan) seseorang atau kelompok lain. Dalam konteks itu, alasan ideologi dalam kekerasan kadang juga bercampur atau dimanfaatkan untuk kepentingan politis, seperti terjadi dalam pelbagai persaingan politik.

Selain itu, kekerasan yang dilakukan beberapa kelompok di masyarakat sering karena alasan sepele. Tawuran antarpelajar, mahasiswa, pendukung sepakbola, kekerasan geng motor, sampai konflik antarkelompok masyarakat (konflik sosial horizontal) kerap disebabkan masalah sederhana, seperti salah paham dan saling ejek.

Fenomena siklus kekerasan di sekitar kita kenyataannya sulit dihentikan karena berbagai kondisi. Fenomena ini juga sudah ada sejak lama, tetapi makin semarak sejak era reformasi dan demokrasi sekarang ini.

Reformasi yang bertujuan untuk menegakkan kehidupan demokrasi dan pemerintahan yang bersih dan baik sejauh ini masih menghadapi berbagai kendala. Semangat reformasi mulai luntur, dan penonjolan yang mengemuka hanya retorika dan euforia reformasi.

Kebebasan menyampaikan pendapat seringkali keluar dari norma demokrasi, bahkan euforia kebebasan dijadikan “pembenaran” untuk bertindak melanggar hukum, termasuk melakukan aksi kekerasan. Padahal tindakan melanggar hukum jelas tidak sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi itu sendiri.

Demokrasi yang benar harus berjalan dalam rel penegakan hukum  dan etika. Demokrasi tanpa hukum dan etika akan memunculkan anarki. Orang yang percaya pada demokrasi harus percaya pada berlakunya hukum itu sendiri.

Lagipula, kekerasan bukanlah adab kemanusiaan kita. Di Indonesia, aksi kekerasan dalam wujud apapun jelas bertentangan UUD dan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Dalam agama Islam, jalan musyawarah lebih diutamakan dalam menyelesaikan suatu masalah, karena Islam adalah agama damai.

Jadi kalau ada yang mengaitkan (ajaran) Islam dengan kekerasan, termasuk terorisme, jelas suatu pandangan keliru.

Secara psikologi, maraknya kekerasan  bercorak sosial mengambarkan situasi kejiwaan masyarakat kita. Ada yang menyebut, maraknya kekerasan, korupsi, dan penyimpangan sosial merupakan fenomena masyarakat yang sedang sakit.

Orang tidak peduli dengan orang lain atau kelompok lain. Mereka hanya peduli dengan dirinya dan kelompoknya sendiri. Kekerasan yang dilakukan pelajar, mahasiswa dan geng motor, misalnya, jelas menggambarkan adanya situasi “alienasi sosial”.

Situasi semacam itu dalam batas tertentu bisa “dimaklumi” mengingat tidak sinkronnya antara ideal pendidikan dengan realitas sosial. Di kota besar, seperti Jakarta, ruang-ruang  bagi proses kreatif anak dan remaja kian hilang.

Ruang-ruang terbuka tempat warga (terutama anak dan remaja) untuk bersosialisasi makin susut digantikan mal dan pusat-pusat perbelanjaan. Tentu saja, ruang-ruang komersil semacam itu hanya bisa diakses sebagian masyarakat saja, dan tidak bisa menggantikan fungsi ruang-ruang terbuka.

Di sisi lain, beban dan himpitan ekonomi juga bisa memicu orang atau masyarakat untuk bertindak anarki dan melanggar hukum. Ketimpangan sosial dalam masyarakat, kemiskinan dan pengangguran yang luas dapat menjadi “api dalam sekam” bagi aksi kekerasan di tengah masyarakat.

Menghilangkan atau meminimalisir kekerasan dalam masyarakat jelas bukan pekerjaan mudah. Di tengah pelbagai situasi ketidakpastian hukum dan rendahnya kepercayaan masyarakat pada aparat, menormalisasi kondisi sosial semacam ini jelas tak semudah membalikkan telapak tangan.

Keteladanan pemimpin dan aparat keamanan jelas menjadi pekerjaan rumah yang utama. Jika persoalan dasar ini selesai, perkejaan rumah lain, seperti pembenahan regulasi dan pembentukan tertib sosial, hanya akan mengikut saja. (Baihaqi Hidayat, pengamat masalah sosial).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar